Salam.., al-hamdulillah kita bisa berjumpa kembali disini, semoga kita selamanya diberi kesehatan Oleh Tuhan. Pada kesempatan ini akan dibahas tema mengenai "memasak daging kelinci, Hukum Mengonsumsi Daging Kelinci". ayo pelajari selengkapnya...
Hukum Mengonsumsi Daging Kelinci
Jumat 19 April 2019 12:0 WIB
Ilustrasi (via omlet.co.uk)
Mengonsumsi daging arnab melambangkan pemandangan yang tak berat dijumpai di masyarakat. Banyak dari membayangkan yang menyukai bukti khas dari daging ini. Bahkan, ada sebagian rumah makan yang khusus menyediakan masakan dari daging ini. Di celah beberapa masakan daging arnab yang kita temui misalnya seperti sate kelinci, arnab gulai, tongseng kelinci, rica-rica arnab dengan beberapa masakan-masakan asing yang berasal dari daging kelinci.
Hal yang patut dipertanyakan, apakah daging arnab termasuk hewan yang halal dimakan?
Menurut mayoritas ulama yang melingkungi Madzahib al-Arba’ah, melahap daging arnab ialah hal yang diperbolehkan, sebab arnab melambangkan cuilan dari hewan yang halal untuk dikonsumsi. Hanya saja bagi Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash dengan Ibnu Abi Laila, melahap arnab ialah hal yang tidak disenangi (karahah). Ketentuan tersebut sesuai dengan hal yang dijelaskan dalam bacaan Hayat al-Hayawan al-Kubra:
يحل أكل الأرنب عند العلماء كافة ، إلا ما حكي عن عبد الله بن عمروبن العاص ، وابن أبي ليلى رضي الله عنهم ، أنهما كرها أكلها
“Halal melahap arnab bagi seluruh ulama kecuali aksioma yang diceritakan dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash dengan Ibnu Abi Laila, bahwa beliau berdua tidak senang melahap kelinci.” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 37)
Mengutip pandangan ulama dengan bahasa hikayah (cerita pengalaman) mengindikasikan bahwa aksioma tersebut lemah. Sehingga bisa dipahami bahwa pandangan dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash dengan Ibnu Abi Layla di tempat akan daging arnab ialah aksioma yang lemah.
Sedangkan aksioma yang dijadikan pijakan oleh mayoritas ulama tempat kehalalan daging arnab ialah beralaskan hadits yang diriwayatkan oleh ikhwan Anas bin Malik berikut:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَنْفَجْنَا أَرْنَبًا بِمَرِّ الظَّهْرَانِ فَسَعَى الْقَوْمُ فَلَغَبُوا فَأَدْرَكْتُهَا فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُ بِهَا أَبَا طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا وَبَعَثَ بِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَرِكِهَا أَوْ فَخِذَيْهَا - فَقَبِلَهُ قُلْتُ وَأَكَلَ مِنْهُ
“Diriwayatkan dari ikhwan Anas bin Malik bahwa beliau berkata: ‘Kami pernah disibukkan menangkap arnab di lembah Marru adz-Dzahran. Banyak anak Adam berusaha menangkapnya hingga membayangkan keletihan. Kemudian aku berhasil menangkapnya kalakian aku bawa ala Abu Thalhah dengan ia menyembelihnya kalakian dikirim daging paha depan atau dua paha belakang ala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau kalakian menerimanya’. Aku (Anas) berkata: ‘Dan Rasulullah melahap dari daging tersebut’.” (HR Bukhari)
Kehalalan daging arnab ini juga disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam bacaan al-Majmu’ dengan berlandaskan ketentuan bahwa arnab termasuk sebagai hewan yang baik (untuk dikonsumsi) bagi pandangan anak Adam arab, berikut referensi tersebut:
ويحل أكل الارنب لقوله تعالى (ويحل لهم الطيبات) والارنب من الطيبات
“Halal melahap kelinci, beralaskan Firman Allah “Dan yang melegitimasikan segala yang baik belah mereka” (QS. Al-A’raf: 157). Kelinci melambangkan sebagian dari hal yang baik (thayyibat)” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, Juz 9, Hal. 10)
Walhasil, melahap arnab bukanlah hal yang harus dipersoalkan sebab arnab termasuk sebagian hewan yang halal untuk dikonsumsi, tinggal bagaimana daging arnab disembelih secara syar’i agar hewan tersebut bukan malah jadi bangkai yang ilegal untuk dikonsumsi. Wallahu a’lam.
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Ahad 31 Maret 2019 14:30 WIB
Ilustrasi (via horsefund.org)
Kuda melambangkan alpa satu jenis hewan yang disebutkan di beragam tempat dalam Al-Qur’an. Penyebutan kata “al-khayl” yang melambangkan nama kuda dalam bahasa Arab umumnya disebutkan dalam Al-Qur’an ketika menerangkan akan satu kenikmatan. Misalnya seperti yang diperoleh dalam Surat An-Nahl:
وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dengan keledai, untuk kamu tunggangi dengan (menjadi) perhiasan.” (QS An-Nahl, Ayat: 8)
Dalam ayat asing juga dijelaskan bahwa kuda melambangkan alpa satu harta dunia yang disenangi oleh manusia:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَأَبِ
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan anak Adam cinta atas apa yang di inginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bangun emas dengan perak, kuda pilihan, hewan ternak dengan shallallahu ‘alaihi wasallamah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dengan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran, Ayat: 14)
Meski menyebutkan hewan kuda secara khusus, ayat-ayat tersebut tidak secara langsung menjelaskan perihal akan kehalalan melahap daging kuda, sebab secara umum hal yang paling dominan dalam hal ketertarikan ala hewan kuda ialah ketika (itu) hewan ini dijadikan sebagai kendaraan, hiasan atau koleksi belah seseorang.
Tentang adat melahap kuda, secara bayan dijelaskan dalam hadits:
عن جابر بن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية وأذن في لحوم الخيل
“Diriwayatkan dari ikhwan Jabir bin Abdullah radliyallahu ‘anh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang ala saat bentrokan senjata Khaibar melahap daging keledai yang piaraan dengan memperbolehkan melahap daging kuda.” (HR Muslim)
Berdasarkan hadits di tempat bisa dipahami bahwa melahap daging kuda ialah hal yang diperbolehkan. Namun memutuskan akan adat melahap kuda belum selesai hanya beralaskan satu hadits di tempat saja. Kita harus menengok pandangan karet ulama Madzahib al-Arba’ah tentang adat melahap daging kuda, sebab pijakan karet ulama bayan beralaskan pertimbangan beragam macam aksioma secara matang, tidak hanya beralaskan satu-dua aksioma saja.
Hal ini misalnya seperti yang dijelaskan dalam bacaan Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah bahwa akan adat melahap daging kuda, karet ulama berlaku diskrepansi pendapat, di antaranya ada yang menghalalkan, memakruhkan, dengan mengharamkan. Berikut perincian akan diskrepansi aksioma tersebut:
ذهب الشافعية والحنابلة وهو قول للمالكية إلى إباحة أكل لحم الخيل لحديث جابر قال : نهى النبي صلى الله عليه وسلم يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية ورخص في لحوم الخيل
وذهب الحنفية - وعليه الفتوى عندهم - وهو قول ثان للمالكية إلى حل أكلها مع الكراهة التنزيهية لاختلاف الأحاديث المروية في الباب لاختلاف السلف
والمذهب عند المالكية أن أكل لحم الخيل محرم
“Ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dengan sebagian aksioma Malikiyah berpandangan bahwa boleh melahap daging kuda, beralaskan hadits ikhwan Jabir: ‘Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang daging keledai yang piaraan ala saat bentrokan senjata Khaibar dengan memberi keringanan (kehalalan) ala daging kuda.’ Ulama Hanafiyah berpandangan halalnya melahap daging kuda disertai adat makruh tanzih—pendapat ini ialah aksioma kedua dalam Mazhab Malikiyah. Hal tersebut dikarenakan berbeda-bedanya hadits yang diriwayatkan akan kehalalan daging kuda dengan berbeda dengan pengamalan ulama salaf. Sedangkan aksioma yang kuat dalam ajaran Malikiyah bahwa melahap daging kuda ialah hal yang diharamkan.” (Kementrian wakaf dengan urusan keyakinan Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 35, hal. 210)
Kehalalan daging kuda bagi karet ulama yang melegitimasikan tetap harus beralaskan syarat-syarat yang mu’tabar seperti harus disembelih secara syar’i, sedang diperoleh abu nyawa yang menetap (hayat al-mustaqirrah) dalam kuda dengan menyembelih dengan melisankan basmalah bagi tiga ajaran selain ajaran Syafi’iyah.
Walhasil, kuliner daging kuda yang biasa kita temukan di beragam sudut jalanan dengan menu sate kuda dengan beragam masakan lainnya ialah hal yang sedang diperselisihkan di celah karet ulama. Bagi anak Adam yang terbiasa melahap daging ini hendakanya bertaqlid ala ulama yang memperbolehkan yakni bagi ajaran Syafi’i, Hanbali, dengan Hanafi. Namun jika gemar memilih jalan hati-hati (ihtiyath) dengan tidak melahap daging kuda, juga melambangkan hal yang baik, selagi tetap menghormati dengan menghargai pandangan yang dianut oleh anak Adam lain. Wallahu a’lam.
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Kamis 28 Maret 2019 17:0 WIB
Hukum Mengonsumsi Daging dengan Darah yang Masih Tersisa
(Foto: @pinterest)
Sebagian anak Adam yang setiap harinya memiliki aksi memasak secara rutin acap kali mengalami problem dalam hal memasak daging hewan, baik itu daging ayam, sapi, embek serta beragam daging halal lainnya, yaitu darah yang melakat tersisa di daging.
Darah tersisa ala daging ketika daging sudah dibasuh dengan air. Bahkan tak serau abu darah ini tetap wujud kendatipun daging sudah di masak dengan siap untuk dijadikan sebagai lauk-pauk.
Melihat realita di atas, apakah abu darah yang akrab ala daging dihukumi sebagai jijik yang tidak dima’fu sehingga tidak boleh untuk dikonsumsi?
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an bahwa alpa satu incaran yang ilegal untuk dimakan ialah incaran yang sedang mengandung darah yang mengalir:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَآ أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً على طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ الله بِهِ
Artinya, “Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya belah yang gemar memakannya kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi–karena sarwa itu kotor–atau hewan yang disembelih bukan tempat (nama) Allah,’” (Surat Al-An’am ayat 145).
Namun, ayat di tempat tidak berlaku ala pertanyaan darah yang akrab ala daging yang memang berat untuk dibersihkan seperti dalam kasus yang acap berlaku di atas. Sebab incaran yang diharamkan dalam Al-Qur’an ialah incaran yang mengandung darah yang mengalir. Sedangkan darah yang biasa akrab dalam daging yang sudah dibersihkan, sama sekali tidak mengalir, maka darah tersebut dihukumi jijik yang dima’fu.
Salah satu ulama’ syafi’iyah yang menegaskan akan ke-ma’fuan darah yang akrab ala daging ialah Imam Abu Ishaq At-Tsa’labi dengan Al-Hulaimi. Alasan mendasar yang dijadikan aksioma akan kema’fuan darah ini ialah dikarenakan wujudnya abu darah yang akrab ala daging ialah hal yang berat untuk dihindari sehingga najisnya darah dalam daging ialah hal yang dimaafkan (dima’fu).
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzdzab:
قوله (فرع) مما تعم به البلوى الدم الباقي على اللحم وعظامه وقل من تعرض له من اصحابنا فقد ذكره أبو إسحق الثعلبي المفسر من اصحابنا ونقل عن جماعة كثيرة من التابعين انه لا بأس به ودليله المشقة في الاحتراز منه وصرح احمد واصحابه بان ما يبقى من الدم في اللحم معفو عنه ولو غلبت حمرة الدم في القدر لعسر الاحتراز منه وحكوه عن عائشة وعكرمة والثوري وابن عيينة وأبى يوسف واحمد واسحق وغيرهم واحتجت عائشة والمذكورون بقوله تعالي (الا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا) قالوا فلم ينه عن كل دم بل عن المسفوح خاصة وهو السائل
Artinya, “Cabang Permasalahan. Sebagian hal yang umum berlaku ialah darah yang tersisa ala daging dengan tulang hewan. Sedikit sekali ulama yang menjelaskan akan hal ini dari karet Ashab. Permasalahan ini dijelaskan oleh Abu Ishaq Ats-Tsa’labi, pakar tafsir dari golongan Ashabus Syafi’i, dengan dinukil dari segolongan ulama tabi’in bahwa darah tersebut tidak harus dipermasalahkan. Adapun dalilnya ialah sulitnya menghindari darah ini. Imam Ahmad dengan karet Ashab Ahmad menjelaskan bahwa darah yang menetap ala daging dihukumi ma’fu (dimaafkan), kendatipun warna merah dari darah mendominasi ala cawan (untuk mewadahi daging). Ketentuan tersebut juga diceritakan dari Sayyidah A’isyah, ‘Ikrimah, Ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Abu Yusuf, Imam Ahmad, Ishaq dengan ulama-ulama yang lain. Sayyidah A’isyah RA dengan karet ulama tersebut mendalilkan ke-ma’fuan darah yang ada ala daging ini dengan ayat ‘Kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir’ karet ulama berkata, ‘Allah tidak mencegah (mengonsumsi) sarwa jenis darah, tapi ala darah yang mengalir saja,’” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzdzab, juz II, halaman 557).
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa abu darah yang biasa akrab ala daging terbilang jijik yang dima’fu atau dimaafkan sehingga ketika daging sudah dibersihkan dengan betul-betul namun darah ini tetap akrab dalam daging maka darah tersebut bukanlah hal yang harus dipermasalahkan dengan daging tetap bisa dikonsumsi. Wallahu a’lam.
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Kamis 28 Maret 2019 7:30 WIB
Mengonsumsi Keong, Halal atau Haram?
Ilustrasi (via fin.co.id)
Keong melambangkan alpa satu hewan yang bisa hidup dalam dua alam, yakni di perairan dengan daratan. Salah satu bukti khas hewan ini ialah memiliki batok atau cangkang yang berfungsi sebagai pelindung dirinya dari ancaman luar. Tempurung bekicot ini selalu menyertainya di mana pun hewan ini berjalan, seperti halnya batok yang dimiliki oleh siput dengan kura-kura.
Bagi asosiasi yang berada di sekitar pesisir pantai, hewan bekicot ini acap membayangkan temukan. Kadang kita memandang beberapa anak Adam berburu keong, sebagian untuk tujuan dikonsumsi secara pribadi dengan ada pula yang menggunakan bekicot untuk diperjualbelikan.
Sedangkan belah asosiasi pedesaan, terutama membayangkan yang bermata pencaharian sebagai petani, berlimpah juga bekicot yang berlalu-lalang di sekitar perairan sawah, hewan ini biasa dikenal dengan nama tutut atau bekicot sawah. Sebagian asosiasi berburu hewan bekicot ladang ini untuk dijadikan sebagai lauk-pauk, terkadang ada juga yang diperjualbelikan.
Melihat beragam realitas di atas, faktual apakah memang hewan bekicot termasuk hewan yang halal untuk dikonsumsi, sehingga tindakan sebagian asosiasi bisa dibenarkan?
Baca juga:
● Mengonsumsi Laron, Halal atau Haram?
● Hukum Makan Bekicot
● Standar Menjijikkan atau Tidaknya Hewan ialah Orang Arab, Mengapa?
Para ulama berbeda aksioma akan status hokum keong, apakah termasuk hewan yang halal atau ilegal dikonsumsi. Sebagian ulama seperti Imam Ar-Ramli, Ad-Damiri dengan Khatib Asy-Syirbini berpandangan bahwa bekicot ialah hewan yang halal untuk dikonsumsi. Sedangkan ulama asing seperti Imam Ibnu Hajar, Ibnu Abdissalam, dengan Az-Zarkasyi berpandangan bahwa bekicot ialah hewan yang ilegal untuk dikonsumsi. Perbedaan aksioma ini secara bayan dijelaskan dalam alpa satu bacaan karya ulama Nusantara, Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Jawi al-Bughuri yang berjudul Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah:
فعلى كلام المجموع وابن عدلان وأئمّة عصره والدميري والشهاب الرملي ومحمد الرملي والخطيب فى المغني فالرميسى والتوتوت والكييوع حلال لأنّها مثل الدنيلس الذي اتّفقوا على حله وداخل في أنواع الصدف الذي ظاهر كلام المجموع على حلّه . وعلى كلام ابن عبد السلام والزركشى وابن حجر فى الفتاوى الكبرى والتحفة فالمذكورات حرام فيجوز للناس أكلها تقليدا للذين قالوا بحلّه والأولى تركه إحتياطا.
“Berdasarkan penjelasan dalam bacaan Al-Majmu’, aksioma Ibnu ‘Adlan dengan ulama semasanya, Imam Ad-Damiri, Syihab Ar-Ramli, Muhammad Ar-Ramli, dengan Khatib Asy-Syirbini dalam bacaan Mughni al-Muhtaj bahwa ramis, tutut (keong sawah) dengan bekicot (laut) ialah hewan yang halal, atas sedang sama dengan danilas (sejenis hewan laut) yang disepakati kehalalannya dengan terbilang dalam jenis kerang yang secara akurat dijelaskan dalam bacaan al-Majmu’ kehalalannya. Namun jika beralaskan aksioma Imam Ibnu Abdissalam, Az-Zarkasyi, Ibnu Hajar dalam bacaan al-Fatawa al-Kubra dengan Tuhfah al-Muhtaj bahwa sarwa hewan yang disebutkan di tempat ialah haram, maka boleh belah seseorang untuk mengonsumsinya dengan bertaqlid ala ulama yang berpendapat akan kehalalannya, namun yang kian utama ialah tidak melahap hewan ini dalam rangka mengambil jalan hati-hati dalam mengamalkan syariat.” (Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Jawi, Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah, hal. 14-15)
Perbedaan aksioma akan adat melahap bekicot di tempat sebenarya bermula dari diskrepansi aksioma di celah ulama akan status adat hewan kerang, apakah termasuk hewan yang ilegal atau halal dikonsumsi. Sebab bekicot ialah hewan yang mirip dengan kerang dari segi kehalalan dengan keharamannya.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa melahap keong, baik itu bekicot laut ataupun bekicot ladang ialah komplikasi yang diperdebatkan, sebagian ulama memperbolehkan, sebagian yang asing mengharamkan. Bagi sebagian anak Adam yang terbiasa melahap bekicot atau menjadikan bekicot sebagai alat penglihat pencaharian diperbolehkan baginya mengikuti (taqlid) ala ulama yang melegitimasikan keong. Sehingga perbuatan yang dilakukannya, baik itu melahap ataupun memperjual-belikan bekicot tidak terbilang sebagai hal yang dilarang oleh syara’. Meski begitu, hal yang kian utama tetap menjauhi melahap bekicot ini dalam rangka mengambil jalan kehati-hatian dalam mengamalkan syariat (ihtiyath) seperti yang dijelaskan dalam bacaan Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah di atas. Wallahu a’lam.
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Sekian detil tentang "Hukum Mengonsumsi Daging Kelinci". semoga artikel ini menambah wawasan bagi Kita semua. terima kasih
Sumber artikel https://islam.nu.or.id/post/read/104951/hukum-mengonsumsi-daging-kelinci